A.
Pengertian
Jin dan Setan
Jin dalam bahsa arab yakni al- jinnu makna
asalnya terhalang nya sesuatu
dari panca indera. Jannatul layli wa
ajannabu yakni gelap malam menghalanginya dan menyembunyikan nya. Dinamai jin
karena tersembunyi dari pandangan manusia. Allah telah memberitahukan dalam
al-quran bahwa dia telah mencipta makhluk yang berjenis lain yang tidak mampu
kita lihat dengan mata kita dalam bentuknya yang asli. Sebagaimana kita tidak
akan bisa melihat malaikat, tidak mampu melihat sinar ultraviolet dan infra
merah, gelombang suara, dan arus listrik yang mengalir di kabel, makhluk inilah
yang dinamakan jin. Yang wajib diimani dan orang yang mengingkarinya dianggap
kafir adalah berita yang yang disebutkan oleh al-quran, meskipun allah tidak
menyebutkan nya secara khusus dan menjadikannya sebagai salah satu dari rukun
iman secara gamblang, sebagai mana masalah keimana kepada malaikat.
Setan-setan itu adalah
golongan jin yg kafir, nenek moyangnya bernama iblis. Ada pula suatu pendapat
yang mengatakan bahwa iblis itu ada lah golongan malaikat (yg kafir), namun
pendapat yang benar yang benar dan valid adalah setan itu dari golongan jin.
Pendapat
ini paling tidak mempunnyai tiga argumentasi:
1.
Karena Allah SWT. Menjelaskan hal
itu secara gamblang di dalam Al-quran. Allah SWT. Berfirman,
“maka merekapun
bersujud kecuali iblis.iblis itu dari golongan jin yg kemudian mendurhakai
perintah tuhannya.”(Al-kahfi:50)
2.
Karena iblis itu mendurhakai
tuhannya,
“sedangkan para
malaikat itu tidak pernah mendurhakai Allah atas apa yang allah perintahkan
kepada mereka.” (At-tahrim:6)
3.
Karena Al-quran secara gamlang
menyebutkan bahwa ia di ciptakan dari api.
“
iblis menjawab,’Aku lebih baik dari pada dia (Adam). engkau diciptakan aku dari
api,sedangkan dia engkau ciptakan dari tanah.” (Al-A’raf:12)
B.
Apa
Perbedaan Jin dan Setan
Jin adalah salah satu jenis makhluk Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang memiliki sifat fisik tertentu, berbeda dengan jenis manusia
atau malaikat.
Jin diciptakan dari bahan dasar api,
sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan,
“Dia menciptakan manusia dari tanah kering
seperti tembikar. Dan Dia menciptakan jin dari nyala api.” (QS. Ar-Rahman:
14 – 15)
Jin memiliki
kesamaan dengan manusia dalam dua hal:
a. Jin memiliki akal
dan nafsu, sebagaimana manusia juga memiliki akal dan nafsu.
b. Jin mendapatkan
beban perintah dan larangan syariat, sebagaimana manusia juga mendapatkan beban
perintah dan larangan syariat.
Oleh karena itu, ada jin yang muslim dan
ada jin yang kafir. Ada jin yang baik dan ada jin yang jahat. Ada jin yang
pintar masalah agama dan ada jin yang bodoh. Bahkan ada jin Ahlussunnah dan ada
jin pengikut kelompok sesat, dst. Sedangkan perbedaan jin dengan mansuia yang
paling mendasar adalah dari asal penciptaan dan kemampuan bisa kelihatan dan
tidak. Makhluk ini dinamakan jin, karena memiliki sifat ijtinan
(Arab: اجتنان), yang artinya tersembunyi dan tidak kelihatan. Manusia
tidak bisa melihat jin dan jin bisa melihat manusia. Allah berfirman,
إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ
مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ
“Sesungguhnya ia
(iblis) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu di suatu keadaan yang kamu tidak
bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf: 27)
Setan
Untuk memahami setan, satu prinsip yang
harus Anda pegang: Jin itu makhluk dan setan itu sifat. Karena setan itu sifat,
maka dia melekat pada makhluk dan bukan berdiri sendiri. Setan adalah sifat
untuk menyebut setiap makhluk yang jahat, membangkang, tidak taat, suka
membelot, suka maksiat, suka melawan aturan, atau semacamnya.
Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar mengatakan,
الشيطان في لغة العرب يطلق على كل عاد
متمرد
“Setan dalam bahasa Arab digunakan untuk
menyebut setiap makhluk yang menentang dan membangkang.” (Alamul Jinni was
Syayathin, Hal. 16).
Dinamakan setan, dari kata; syutun (Arab: شطون)
yang artinya jauh. Karena setan dijauhkan dari rahmat Allah. (Al-Mu’jam
Al-Wasith, kata: الشيطان)
Kembali pada keterangan sebelumnya, karena
setan itu sifat maka kata ini bisa melekat pada diri manusia dan jin.
Sebagaimana penjelasan Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa ada setan dari
golongan jin dan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, setelah
menjelaskan sifat-sifat setan,
مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ
“(setan yang membisikkan itu) dari golongan jin dan
mausia.” (QS. An-Nas: 6).
C.
Sikap
Terhadap Jin dan Setan
Setan merupakan salah satu dari makhluk
Allah SWT yang pada dasarnya diciptakan untuk mengabdi kepada Allah SWT
sebagaimana manusia diciptakan juga untuk beribadah kepada-Nya. Hal ini karena
setan berasal dari golongan jin yang sama-sama diciptakan untuk mengabdi kepada
Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
“Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia
kecuali supaya mengabdi kepada-Ku.” (QS adz-Dzâriyât [51]: 56).
Kita mengenal sejarah godaan setan kepada manusia
bermula interaksi anergis antara Adam-Hawa dengan Iblis. Adam-Hawa
berasal dari golongan manusia, sedang Iblis berasal dari golongan jin.
Disebutkan dalam
firman Allah SWT:
“Dan (ingatlah) ketika kami
berfirman kepada para malaikat: “sujudlah kamu kepada Adam. Maka sujudlah
mereka kecuali iblis. dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai
perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turanan-turunannya sebagai
pemimpin selain Aku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu
sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zalim.” (QS al-Kahfi
[18]: 50).
Di dalam al-Quran, Allah SWT mengemukakan sikap-sikap yang
ditunjukkan oleh manusia terhadap setan dan menunjukkan kepada kita bagaimana
seharusnya kita bersikap kepadanya agar dapat mewujudkan kehidupan yang baik di
dunia ini sehingga membawa kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
1. Setan
sebagai Saudara
Dalam bersikap kepada setan, ada manusia yang menjadikannya
seperti saudara sehingga ia memiliki sifat-sifat yang sama sebagaimana yang
dimiliki oleh setan, satu diantaranya adalah melakukan apa yang disebut dengan tabdzîr
dalam penggunaan harta, yakni menggunakan atau membelanjakan harta untuk
sesuatu yang tidak dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, baik sedikit apalagi
banyak. Dalam bahasa kita hal ini diistilahkan dengan pemborosan, karena
mengandung kesia-siaan.
Orang yang melakukan hal ini disebut dengan mubazir. Harta
yang kita miliki, sebanyak apapun dia sangat banyak yang membutuhkannya baik
untuk keluarga sendiri yang memang sangat berhak maupun orang lain seperti
orang miskin dan orang yang dalam perjalanan yang memerlukan pertolongan, Allah
SWT berfirman:
“Dan berikanlah
kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang
yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan
setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS al-Isrâ’ [17]:
26-27).
2. Setan
sebagai Pemimpin dan Pelindung
Dalam kehidupan ini, manusia membutuhkan pemimpin, namun
manusia tidak boleh sembarangan memilih pemimpin, karena hal itu bisa
mengakibatkan persoalan yang sangat pelik. Namun yang amat disayangkan adalah
ada manusia yang menjadikan setan atau orang-orang yang berwatak setan sebagai
pemimpin sehingga kepemimpinan itu membawa akibat negatif yang sangat besar,
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya
setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal
kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang
yang mengambilnya menjadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya
dengan Allah.” (QS an-Nahl [16]: 99-100).
Kata sulthân
(kekuasaan) dalam ayat di atas berasal dari kata as-Sâlith yang
maksudnya adalah minyak yang digunakan untuk menyalakan lampu yang menggunakan
sumbu. Ini berarti sulthân adalah keterangan atau bukti yang
menjelaskan sesuatu dengan terang dan mampu meyakinkan pihak lain, baik benar
maupun salah. Setan memang memiliki kemampuan untuk memperdaya manusia, namun
yang bisa diperdaya oleh Setan hanyalah orang-orang yang lemah imannya, yang
menjadikannya sebagai pemimpin, sama seperti virus sebuah penyakit yang hanya
akan menimpa orang-orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh yang kuat.
Penggunaan
kata “wali” (pelindung) terhadap setan juga disebutkan dalam
firman Allah SWT:
“Allah
pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan
(kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir,
pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada
kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya.” (QS al-Baqarah [2]: 257).
Ini berarti
ada manusia yang menjadikan setan sebagai pemimpin dan pelindung. Kata “wali”
bermaksud sesuatu yang langsung datang atau berada sesudah sesuatu yang lain,
tidak ada perantara di antara keduanya. Ketika Allah SWT atau setan yang
dijadikan sebagai wali oleh manusia, itu artinya manusia memiliki hubungan yang
sangat dekat sehingga langsung ditolong, dibantu dan dilindungi. Ketika Allah
SWT yang dijadikan sebagai wali (pemimpin dan pelindung), maka Allah SWT akan
mengeluarkan manusia dari kegelapan dan kesesatan kepada cahaya yang terang,
yakni petunjuk hidup yang benar, namun ketika manusia menjadikan setan sebagai
wali, maka setan akan mengeluarkan manusia dari jalan hidup yang benar (cahaya)
kepada kegelapan atau kesesatan yang banyak.
3. Setan
sebagai Kawan
Dalam kehidupan ini, manusia tidak bisa hidup sendirian, ia
membutuhkan kawan yang dapat menghibur dikala duka, yang dapat membantu dikala
susah dan menemaninya dikala sepi, bahkan memecahkan persoalan saat menghadapi
masalah. Karena itu, manusia seharusnya menjadikan orang-orang yang baik dan
shaleh sebagai kawan, karenanya Allah SWT berpesan kepada setiap mukmin untuk
selalu berkawan kepada orang-orang yang shiddîq (benar), Allah SWT
berfirman:
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah, dan hendaklah kamu
bersama orang-orang yang benar.” (QS at-Taubah [9]: 119).
Karena itu
amat disayangkan bila manusia menjadikan setan atau orang-orang yang berwatak
setan sebagai kawan dekatnya, akibatnya merebaklah berbagai kejahatan yang
disebarluaskan oleh setan, karena setan dan pengikut-pengikutnya hanya akan
membuat manusia menempuh jalan hidup yang sesat hingga berujung ke neraka, Allah
SWT berfirman:
“Di
antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan
dan mengikuti setiap setan yang sangat jahat, yang telah ditetapkan terhadap
setan itu, bahwa barangsiapa yang berkawan dengan dia, tentu dia akan
menyesatkannya dan membawanya ke azab neraka .” (QS al-Hajj [22]: 4)
4.
Setan sebagai Musuh
Sikap terbaik yang harus ditunjukkan oleh manusia terhadap
setan adalah menganggap dan menjadikannya sebagai musuh yang harus diperangi
dan diwaspadai setiap saat. Setan harus diperlakukan sebagai musuh karena sepak
terjangnya dalam kehidupan kita menjadi kendala besar bagi kita untuk bisa
menjadi muslim yang sejati, Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang
beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu
turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.”
(QS al-Baqarah [2]: 208)
Disamping
itu, seruan Allah SWT untuk memperlakukan setan sebagai musuh tidak hanya
ditujukan kepada orang-orang yang beriman, tapi juga kepada seluruh umat
manusia, karena ada kebutuhan-kebutuhan manusia yang harus dipenuhinya dan ia
tidak boleh menghalalkan segala cara dalam upaya mencapainya, Hal ini karena,
meskipun manusia tidak beriman kepada Allah SWT atau tidak menjadi muslim,
dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, tetap saja mereka yang tidak beriman
kepada Allah-pun tidak membenarkan upaya yang menghalalkan segala cara, Allah
SWT berfirman:
“Hai manusia, makanlah yang
halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.”
(QS al-Baqarah [2]: 168).
Keharusan manusia menjadikan setan sebagai musuh juga karena
dalam kehidupan bersama, manusia sangat mendambakan kedamaian hidup, sedangkan setan
selalu menanamkan perselisihan, permusuhan ke dalam jiwa manusia hingga
akhirnya terjadi peperangan; tidak hanya dengan kata-kata tapi juga perang
secara fisik dengan korban harta dan jiwa yang sedemikian banyak serta membawa
dampak kejiwaan yang negatif, dan ini sebenarnya tidak dikehendaki oleh
manusia, Allah SWT berfirman:
“Dan
katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan diantara
mereka. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi manusia.” (QS
al-Isrâ’ [17]: 53).
D.
Kerasukan
Jin dan Setan
1. Mereka
yang mempercayainya dan meyakininya. Itulah keyakinan umumnya kaum muslimin.
2. Mereka
yang mengingkarinya, dan menganggap itu bukan kesurupan jin. Keyakinan ini
menjadi salah stau prinsip aliran liberal, mengikuti pemahaman pendahulunya,
sekte Mu’tazilah. Untuk yang kedua ini tidak perlu dilirik, karena mereka lebih
mengedepankan akal dan logika sederhana, ketimbang dalil Alquran dan sunah.
Lalu Bagaimana Islam Memandang?
Berikut beberapa catatan yang bisa kita jadikan bahan
pertimbangan untuk membuat kesimpulan yang lebih benar:
Pertama, terdapat banyak dalil dari Alquran
dan hadis yang menggambarkan keberadaan penyakit kesurupan jin. Diantaranya,
1. Allah berfirman, menceritakan keadaan pemakan riba
ketika dibangkitkan,
“Orang-orang
yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba…” (QS. Al-Baqarah: 275)
“Maksud ayat,
pemakan riba tidak akan dibangkitkan dari kubur mereka pada hari kiamat kecuali
seperti bangkitnya orang yang kesurupan dan kerasukan setan. Karena dia berdiri
dengan cara tidak benar. Ibnu Abbas mengatakan, “Pemakan riba, dibangkitkan
pada hari kiamat seperti orang gila yang tercekik.” (Tafsir Ibn Katsir,
1:708).
2. Disebutkan dalam hadis dari Abul Aswad as-Sulami,
bahwa diantara doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al-Munawi
menjelaskan,
“…setan merasuki badanku ketika
mendekati kematian…”: dengan gangguan yang yang bisa menggelincirkan kaki,
merasuki akal dan pemikiran. Terkadang setan menguasai seseorang ketika hendak
meninggal dunia, sehingga dia bisa menyesatkannya dan menghalanginya untuk
bertaubat… (Faidhul Qadir, 2:148)
Kedua, kesurupan,
dengan jin masuk ke tubuh manusia adalah kejadian yang hakiki, kenyataan dan
bukan khayalan.
Abdullah bin Imam Ahmad pernah bertanya kepada
ayahnya,
“Sesungguhnya
ada beberapa orang yang berpendapat, bahwa jin tidak bisa masuk ke badan
manusia.”
Imam Ahmad
menjawab,
“Wahai anakku,
mereka dusta. Jin itulah yang berbicara dengan lisan orang yang dirasuki.”
Setelah membawakan keterangan ini, Syaikhul Islam
memberi komentar,
“Apa yang
disampaikan Imam Ahmad adalah masalah yang terkenal di masyarakat. Orang yang
kerasukan berbicara dengan bahasa yang tidak bisa dipahami maknanya. Terkadang
dia dipukul sangat keras, andaikan dipukulkan ke onta, pasti akan menimbulkan
sakit. Meskipun demikian, orang yang kesurupan tidak merasakan pukulan dan
tidak menyadari ucapan yang dia sampaikan.”
Beliau juga menegaskan, Orang yang menyaksikan
kejadian kesurupan, dia akan mendapatkan kesimpulan yang meyakinkan bahwa yang
bicara dengan lidah manusia dan yang menggerakkan badannya adalah makhluk lain,
selain manusia (Majmu’ al-Fatawa, 24:277).
Ketiga, ulama
sepakat, jin bisa merasuki tubuh manusia
Hal ini sebagaimana ditegaskan Syaikhul Islam dalam
fatwanya,
“Tidak ada satupun ulama islamyang mengingkari
jin bisa masuk ke badan orang yang kesurupan dan lainnya. Orang yang
mengingkari hal ini dan mengklaim bahwa syariat mendustakan anggapan jin bisa
masuk ke badan manusia, berarti dia telah berdusta atas nama syariah. Karena
tidak ada satupun dalil syariat yang membantah hal itu.” (Majmu’ al-Fatawa,
24:277).
Keempat, sebab
terjadinya kesurupan
Syaikhul Islam menjelaskan,
“Jin yang
merasuki manusia bisa saja terjadi karena dorongan syahwat atau hawa nafsu atau
karena jatuh cinta. Sebagaimana yang terjadi antara manusia dengan manusia…”
“Bisa juga
terjadi karena kebencian atau kedzaliman (yang dilakukan manusia), misalnya ada
orang yang mengganggu jin atau jin mengira ada seseorang yang sengaja
mengganggu mereka, baik dengan mengencingi jin atau membuang air panas ke arah
jin atau membunuh sebagian jin, meskipun si manusia sendiri tidak
mengetahuinya. Namun jin juga bodoh dan dzalim, sehingga dia membalas kesalahan
manusia dengan kedzaliman melebihi yang dia terima. Terkadang juga motivasinya
hanya sebatas main-main atau mengganggu manusia, sebagaimana yang dilakukan
orang jelek di kalangan manusia.” (Majmu’ al-Fatawa, 19:39).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Utsmani, Abdul Wahab,
Misteri Jin, Setan dan Manusia, (Mizan Publika : Jakarta, 1985),.
Musthafa Al-Maraghy Ahmad , Terjemah
Tafsir Al-Maraghi juz 3, (Toha Putra : Semarang, 1985),.
Shihab, M. Quraish, Yang
Tersembunyi, (Lentera Hati : Jakarta, 2000),.